JAKARTA - Menjadi muda di Indonesia masa kini bukan hanya soal usia, melainkan tentang bagaimana kita menavigasi dua arus besar: globalisasi dan kearifan lokal.
Generasi muda tumbuh dalam dunia yang batasnya makin kabur—antara ruang nyata dan ruang maya. Di satu sisi, kita belajar sopan santun dan nilai budaya dari keluarga dan adat. Namun di sisi lain, media sosial menjadi guru baru yang menanamkan nilai-nilai modern dan global setiap hari.
Sebagaimana dikatakan antropolog Clifford Geertz tentang webs of significance, kita hidup dalam jejaring makna yang kita anyam sendiri. Generasi muda tidak hanya mewarisi budaya, tetapi juga menafsirkan ulang dan menciptakan makna baru. Ketika batik dipadukan dengan streetwear, atau musik tradisional disatukan dengan ritme elektronik, itu bukan sekadar tren fesyen atau hiburan, tetapi simbol negosiasi identitas—tentang bagaimana menjadi Indonesia tanpa kehilangan semangat pembaruan.
Identitas Cair di Tengah Budaya Hybrid
Pemikiran Stuart Hall tentang identitas yang “cair” terasa nyata dalam kehidupan pemuda Indonesia saat ini. Identitas tidak lagi bersifat tetap, melainkan terus dibentuk dan dinegosiasikan melalui pengalaman dan media digital.
Anak muda bisa menonton parodi wayang di TikTok sambil menertawakannya, lalu bangga membagikannya ke dunia. Mereka bisa mengaku sebagai anak daerah dengan logat khas, namun tetap ingin diakui sebagai warga dunia. Bagi banyak pemuda, identitas kini bukan warisan yang diterima begitu saja, melainkan proyek yang terus dibangun.
Melalui unggahan dan konten, mereka menulis kisah diri mereka sendiri. Dunia digital memberi ruang bagi setiap individu untuk menjadi narator atas identitasnya. Namun, kebebasan itu juga membawa tekanan baru: bagaimana tetap relevan, diakui, dan terus hadir di tengah arus informasi yang tak berhenti.
Pierre Bourdieu menggambarkan kondisi ini sebagai munculnya “medan sosial baru” di mana modal simbolik—seperti jumlah pengikut, citra diri, dan popularitas—menggantikan modal sosial tradisional seperti status sosial atau jabatan. Pemuda kini membangun habitus baru: fasih menafsirkan tanda, cekatan membaca tren, dan mahir menavigasi citra dalam ruang digital.
Budaya Lokal di Tengah Gelombang Virtual
Jika dahulu solidaritas pemuda berwujud pertemuan fisik dan organisasi, kini semangat itu bermigrasi ke ruang digital. Gerakan sosial bisa lahir dari thread di X (Twitter), video singkat di TikTok, atau kampanye tagar di Instagram.
Konsep yang dikemukakan oleh Benedict Anderson tentang bangsa sebagai imagined communities menemukan bentuk baru dalam era digital. Komunitas kini dibayangkan bukan hanya lewat ruang fisik, tetapi juga melalui layar ponsel.
Solidaritas pemuda kini muncul dalam bentuk dukungan virtual terhadap isu-isu besar seperti lingkungan, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Dunia maya menjadi wadah baru untuk menghidupkan semangat kolektif. Meski begitu, tantangannya tetap ada: bagaimana memastikan semangat solidaritas itu tidak hanya viral sesaat, tetapi juga melahirkan tindakan nyata.
Kecepatan dunia digital sering membuat kepedulian cepat muncul dan cepat hilang. Karena itu, penting bagi pemuda untuk memiliki agency—kesadaran untuk tidak sekadar bereaksi terhadap isu, tetapi juga beraksi secara berkelanjutan. Semangat Sumpah Pemuda di era kini bukan hanya tentang bersatu secara geografis, tapi juga secara ide dan aksi lintas platform.
Ruang Baru untuk Kreasi dan Refleksi
Tren aura farming, healing culture, musik hip-dut, hingga hyperlocal memes memperlihatkan bagaimana generasi muda menciptakan budaya baru dengan memadukan unsur lokal dan global. Dalam istilah antropologi, fenomena ini dikenal sebagai glocalization—proses di mana elemen global diolah agar selaras dengan konteks lokal.
Anak muda Indonesia tidak menolak modernitas, namun juga enggan kehilangan akar tradisinya. Mereka ingin menjadi bagian dari dunia global, tanpa melupakan identitas lokal yang memberi warna. Mereka merayakan perbedaan sebagai bentuk kreativitas.
Inilah generasi yang menari di antara dua dunia: dunia akar dan dunia awan. Mereka tidak selalu tahu arah pasti ke mana harus melangkah, namun sadar bahwa setiap langkah mereka adalah bagian dari perjalanan panjang budaya bangsa.
Dari Penonton Menjadi Penggerak
Tulisan ini merupakan refleksi dari pengalaman generasi muda yang hidup di tengah pusaran perubahan tersebut. Kami bukan sekadar pengamat; kami bagian dari narasi itu sendiri. Kami merasakan kebingungan identitas, tekanan eksistensial, dan pencarian makna di tengah arus modernitas yang bergerak cepat.
Kami ingin suara kami didengar bukan hanya karena kami muda, tetapi karena kami memahami zaman dengan cara yang khas—cepat, cair, dan adaptif. Kami menyadari bahwa perubahan tidak selalu lahir dari demonstrasi atau jalanan, melainkan juga dari keberanian berpikir berbeda dan kolaborasi kreatif.
Menjadi muda di Indonesia hari ini berarti membangun jembatan antara tradisi dan inovasi. Sumpah Pemuda bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi semangat yang terus berevolusi. Jika dulu ia mengikat bangsa melalui bahasa dan rasa kebersamaan, kini semangat itu hadir dalam bentuk digital: melalui karya, konten, dan gagasan yang meneguhkan identitas bangsa di tengah globalisasi.
Generasi muda Indonesia tidak hanya mewarisi Indonesia, tetapi juga mendefinisikannya ulang. Di tengah dunia yang serba cepat, mereka tumbuh di dua ruang—akar dan awan—dan dari sanalah masa depan bangsa ini disemai: di tangan pemuda yang berani menulis, berani mencipta, dan berani berpikir.